Jumat, Februari 20, 2009

Bagaimana Memahami
Ahlussunnah Waljama’ah


Oleh : KH. Cholil Nafiz, Lc., MA.

Ahlussunnah Waljama’ah adalah kata yang sering kita dengar, bermakna aqidah yang dianut oleh seseorang atau kelompok. Dari segi bahasa, ahl berarti keluarga, golongan atau pengikut, As Sunnah berarti segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan atau pengakuan. Ahlu al Sunnah berarti penganut sunnah Nabi SAW., sedangkan Ahlu al Jama’ah berarti penganut kepercayaan jama’ah para sahabat Nabi SAW. Karena itu, kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah (ahl Al sunnah wa al jama’ah) adalah kaum yang menganut ajaran Nabi Muhammad SAW., dan jama’ah para sahabatnya. Ajaran Nabi SAW., dan sahabat-sahabatnya itu talah termaktub dalam al Qur’an dan sunnah Nabi secara terpencar-pencar, yang kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapih oleh seorang ulama besar, yaitu Syekh Abu al Hasan al Asy’ari (lahir di Basrah, Irak tahun 260 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun).

Ahlussunnah Waljama’ah, adalah pemahaman yang berusaha kembali kepada Islam sebagaimana dipraktekkan oleh para sahabat nabi, tabi’in dan tabi’it-tabi’in. Syaikh Abi Al Fadl bin Abdussyakur mendefinisikan Ahlussunnah Waljama’ah :

“Ahlussunnah Waljama’ah adalah orang-orang yang selalu mengikuti sunnah Nabi SAW., dan praktek para sahabatnya dalam masalah aqidah dan akhlak hati”. (al-Kawakib al-Lamma’ah: h. 8-9).

Kebenaran keyakinan yang mereka miliki, telah mereka kaitkan dengan firqah najiyah (kelompok yang selamat), yang disebutkan oleh Nabi Muhammad di tengah banyaknya kelompok yang dianggap sesat. Kelompok yang selamat itu kemudian disebut Ahlussunnah Waljama’ah, sebagaimana tercantu dalam hadits.
Hadits ini telah dijadikan dalil tentang paham Ahlussunnah Waljama’ah sebagai paham yang menyelamatkan umat Islam dari neraka, dan juga dapat menjadi pedoman pengertian subtantif paham Ahlussunnah Waljama’ah Ahlussunnah Waljama’ah. Diantara teks hadits Ahlussunnah Waljama’ah adalah :

“orang-orang Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan, dan orang-orang Nashrani terpecah menjadi 72 golongan, dan ummat(ku) ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk ke neraka kecuali satu golongan”. Kami bertanya: “siapakah golongan satu itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “ialah golongan yang mengikuti apa yang aku lakukan saat ini dan para sahabatku”. (HR. at-Tarmidzi dan al-Hakim).

“……Ummatku akan terpecah menjadi 73 kelompok. Hanya satu yang selamat, dan lainnya celaka”. Nabi SAW., ditanya: ”Siapakah kelompok ini yang selamat itu ya Rasulullah?”. Nabi SAW., menjawab: Yaitu kelompok Ahlussunnah walJama’ah.” Kemudian Nabi ditanya lagi: Apa itu sunnah dan jama’ah?” Nabi menjawab: ”Ialah apa yang aku lakukan saat ini dan para sahabatku”.

Secara historis, para imam Ahlussunnah walJama’ah di bidang aqidah atau kalam telah ada sejak jaman sahabat nabi SAW., (sebelum Mu’tazilah ada). Imam Ahlussunnah walJama’ah di jaman itu adalah Ali ibn Abi Thalib, yang berjasa membendung pendapat Khawarij tentang al wa’d wa al wa’id 9janji dan ancaman) dan mebendung pendapat qadariyah tentang kehendak Tuhan (masyi’ah) dan daya manusia (isthitha’ah) serta kebebasan berkehendak dan kebebasan berbuat. Selain Ali ibn Abi Thalib, ada juga Abdullah ibn Amr, yang menolak pendapat kebebasan berkehendak manusia dari Ma’bad al Juhani.

Di masa tabi’in, muncul beberapa imam yang mengemban misi Ahlussunnah walJama’ah, seperti Umar ibn ’Abd al-Aziz yang menulis Risalah Balighah fi al-Radd ’ala al-Qadariyah, Zayd ibn Zayn al-’Abidin, Hasan al-Bashri, al-Sya’bi dan al-Zuhri. Sesudah generasi ini muncul seorang imam, Ja’far ibn Muhammad al-Shadiq. Dari para Fuqaha (ahli hukum Islam) dan imam mazhab fiqh, juga ada para imam ilmu kalam Ahlussunnah walJama’ah, seperti Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Abu hanifah berhasil menyusun sebuah karya untuk meng-counter paham Qadariyah berjudul Al-Fiqh al-Akbar sedangkan al-Syafi’i meng-counternya melalui dua kitab Fi Tashhih al-Nubuwwah wal al-Radd ‘ala al-Barahimah, dan al-Radd ‘ala al-Ahwa.

Setelah periode Imam Syafi’i, ada beberapa muridnya yang berhasil menyusun paham akqidah Ahlussunnah walJama’ah, diantaranya adalah Abu al-‘Abbas ibn Suraji. Generasi Imam dalam kalam Ahlussunnah walJama’ah sesudah itu diwakili oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari yang populer disebut sebagai salah seorang penyelamat aqidah keimanan, lantaran keberhasilannya membnedung paham mu’tazilah.

Dari mata rantai data di atas, yang sekaligus menjadi dalil historis, dapat dikatakan bahwa aqidah Ahlussunnah walJama’ah secara subtantif telah ada sejak jaman sahabat. Artinya, paham aqidah Ahlussunnah walJama’ah itu tidak sepenuhnya aqidah bawaan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari yang berbeda dengan akidah Islam. Apa yang dilakukan oleh Imam Abu al-hasan al-Asy’ari adalah menyusun doktrin paham aqidah Ahlussunnah walJama’ah secara sistematis, sehingga menjadi pedoman atau mazhab umat Islam. Sesuai dengan kehadirannya sebagi reaksi terhadap munculnya paham-paham yang ada pada jaman itu.

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M) di Surabaya oleh beberapa ulama terkemuka yang kebanyakan adalah pemimpin/pengasuh pondok pesantren. Tujuan didirikannya adalah berlakunya ajaran Islam Ahlussunnah walJama’ah (Aswaja); menganut salah satu mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), baik secara qauli maupun manhaji dalam bidang fiqh; dan mengikuti Imam al Junaid al Baghdadi (wafat 297 H) dan Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111 M.) dalam bidang tassawuf. Ini berarti, NU adalah organisasi keagamaan yang secara formal membela dan mempertahankan Aswaja, dengan disertai batasan yang fleksibel. Sebagai organisasi sosial keagamaan (al Jam’iyyah al Diniyyah wa al Ijtima’yah), NU merupakan bagian integral dari wacan pemikkiran sunni. Terlebih lagi, jika kita telusuri lebih jauh, bahwa penggagas berdirinya NU memiliki pertautan sangat erat dengan para ulama Haramain (Makkah-Madinah) pada masa di bawah kekuasaan Turki Ustmani yang ketika itu berhaluan Aswaja.

Nahdlatul Ulama sudah memiliki paham dan tradisi yang terbukti mampu menjadi perekat bangsa ini, yaitu paham Ahlussunnah walJama’ah (Aswaja). Aswaja merupakan paham yang mengutamakan kemaslahatan yang lebih luas dalam menyelesaikan berbagai persoalan ummat. Dalam perjalanan sejarah, Aswaja telah mempraktekkan prinsip-0prinsip syura (musyawarah), tawassuthiy (pola pikir moderat), ishlahiy (reformatif), tathowwuri (dinamis), dan manhaji (metodologis) yang senantiasa bersikap tawazun (seimbang), tasammuh (toleransi), ‘adalah (adil), musawah (egaliter), dan hikmah ( bijaksana).

Prinsip-prinsip tersebut berdampak pada sikap-sikap positif yang dilakukan oleh Ahlussunnah walJama’ah dalam menyikapi berbagai persoalan. Karena itu, sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia belum pernah ada rongrongan yang mengancam NKRI atau ideologi negara yang berasal dari paham Aswaja. Aswaja lebih menekankan harmonitas kehidupan umat manusia dan stabilitas politik. Masih segar dalam ingatan bagaimana kelompok Islam yang di dalamnya terdapat KH. Wahid Hasyim bisa menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta atas pertimbangan NKRI.
Wallahu a’lam bi al’shawab.

Dicuplik dari majalah ”Risalah NU” No. 11/Thn. II/1430 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar