Jumat, Februari 20, 2009

Mr. KH. Imron Rosjadi
(Diplomat Karier dan Sarjana Hukum Pertama NU)

Sejak awal NU merupakan organisasi sosial keagamaan yang bersikap pluralis, bayangkan berapa banyak kader di luar NU direkrut oleh organisasi ulama. Ini bukan hanya kekurangan sumber daya manusia, tetapi dilandasi pada sikap yang melihat semuaa elemen bangsa yang berprestasi dan bermoral sebagai warganya, karenanya bisa diajak berkiprah di NU. Namun demikian tidak berarti NU tidak memiliki kader sendiri yang memumpuni, banyak sekali diantaranya adalah Mr. Imron Rosyadi, yang menjadi salah seorang ketua dalam jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama -PBNU- ketika organisasi ini masih menjadi partai politik (1954-1984).

Perjalanan hidup Imron Rosyadi penuh liku-liku, dia adalah anak seorang pimpinan pesantren, di sanalah ia mulai belajar, kemudian mulai mengenyam pendidikan gaya Belanda, kemudian mendalami pelajaran agama di Irak, di sana ia banyak belajar berbagai pengetahuan sejak politik, kebudayaan dan juga agama, tetapi yang ditekuninya adalah bidang hukum, dari sana ia mendapatkan gelar Meester in de Reechten (MR) yang di Indonesiakan menjadi Sarjana Hukum (SH), melalui ujian persamaan di Universitas Indonesia. Dengan pengalamannya itu ia menjadi pribadi yang tegas dan mandiri.

Dikutip dari Antologi NU; Imron ketika itu berusia sekitar 25 tahun. Memiliki semangat juang yang tinggi. Ia ingin berkeliling dunia tapi orang tuanya kurang berkenan, karena rencana itu membutuhkan biaya yang amat banyak, yang tidak bisa ditanggung oleh mereka. Namun tekad dan semangat Imron pantang surut. Dengan segala daya dan upaya dia tetap ingin cita-citanya tercapai. Oleh karenanya dia menyamar sebagai awak kapal angkutan barang. Namun, di tengah pelayarannya dia tertangkap.

Putera Indramayu

Ia berasal dari keluarga tradisionalis yang dari Indramayu tepatnya di desa Singaraja Kecamatan Indramayu. Menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum sebelum pergi ke luar negeri dan akhirnya berhasil mendapatkan gelar sarjan di bidang hukum di Baghdad, Irak.

Selama masa revolusi, ia bertindak sebagai wakil diplomatik di Irak untuk kepentingan republik dan kemudian ditunjuk sebagai charge d’affaires Indonesia untuk kerajaan Arab Saudi. Setelah kepulangannya ke Indonesia pada tahun 1952, Imron direkrut oleh NU dan diangkat sebagai ketua Ansor pada tahun 1953. ia menjadi anggota PBNU pada tahun berikutnya sebagai Wakil Ketua II pada saat PBNU di pimpin oleh KH. Idham Chalid. Imron Rosjadi, merupakan figur pertama di PBNU yang berpendidikan tinggi dan menjadi anggota parlemen yang vokal setelah Pemilu 1955.
Imron terlahir dari keluarga keturunan NU tulen. Ayahnya KH Abdullah dan ibunya Ny.Hajah Ratu Salichah, memiliki empat orang puteri, semua kakak Imron dan seorang putera yang paling ragil atau bungsu adalah Imron Rosyadi. Seorang di antara kakaknya Ny.Hj.Chasanah Mansur pernah menjadi Sekretaris Umum Pucuk Pimpinan Muslimat NU yang berkedudukan di Jakarta.

Selesai belajar di sekolah rakyat, pemuda yang lahir tahun 1916 melanjutkan pendidikan tingkat menengah -MULO-, suatu lembaga pendidikan jaman Belanda yang modern dan maju. Di sekolah ini di ajarkan lima bahasa asing, karena itu lulusannya rata-rata menguasai bahasa Inggeris, Belanda, dan Jerman di samping bahasa Indonesia. Tamat MULO, Imron yang ketika itu berusia sekitar 25 tahun memiliki semangat juang yang tinggi.Ia ingin berkeliling dunia, tetapi orang tuanya kurang berkenan, karena rencana itu membutuhkan beaya yang amat banyak yang tidak bisa ditanggung oleh orang tuanya.

Tekad dan semangat Imron menuntut ilmu ke luar negeri, terutama negara-negara Timur Tengah pantang bersurut. Dengan segala daya dan upaya dia mencoba menyamar sebagai awak kapal angkutan barang. Namun di tengah pelayaran ternyata ia tertangkap oleh nakhoda kapal, akhirnya ia diturunkan di Singapura, walaupun demikian ia tak tampak gelisah karena sudah meninggalkan negaranya apalagi dia sudah memiliki sejumlah uang dan menetap untuk beberapa lama di kota dagang itu. Sambil terus mengatur siasat, Imron melanjutkan pengembaraan ke Kuala Lumpur Malaysia. Di sana pun begitu, sambil menghimpun kekuatan, ia melanjutkan perjalanan ke Pakistan, India hingga akhirnya sampai di Baghdad-Irak.

Sesuai tekadnya, Imron segera mendaftar ke Universitas Irak di Baghdad, mengambil jurusan agama sekaligus mendalami masalah hukum. Studi itupun dapat diselesaikan sekitar tujuh tahun. Namun untuk menggapai cakrawala ilmu pengetahuan maka setiap ada hari-hari libur panjang Imron memanfaatkannya untuk berkelana ke Saudi Arabia, Mesir, dan bahkan ke Eropa. Perjalanan safari ini membawa pengalaman berharga bagi Imron yang memiliki cita-cita tinggi itu.

Kembali ke Tanah Air, pihak orang tua Imron sudah “kasak kusuk” untuk menjodohkan puteranya dengan seorang gadis Periyangan anak seorang bupati Pasundan pada waktu itu. Hanya beberapa bulan setelah kembali ke Indonesia, tahun 1951 Imron Rosyadi menyunting Nona Chadijah yang banyak dipingit. Maklum ia puteri dari seorang ningrat. Imron mulai menapaki hidup baru sebagai keluarga muda dan sejak itu ia berusaha mengamalkan ilmunya sebagai seorang yang ahli politik luar negeri melamar bekerja ke Departemen Luar Negeri.

Ijazah LLB dari Universitas Baghdad itu sangat berharga baginya sebagai modal untuk berkarir di tanah air Indonesia. Sesuai dengan minat di disiplin keilmuannya ia pun masuk ke Departemen Luar Negeri sebagai pegawai negeri. Namun untuk kepentingan status kepegawaiannya, Imron memerlukan ujian persamaan bidang hukum di Universitas Indonesia. Maka iapun kemudian mendapatkan titel Meester in de Reechten (Sarjana Hukum). Lima tahun bekerja di Deplu, Imron diangkat sebagai Kuasa Usaha, waktu itu belum banyak pengangkatan Duta Besar/Dubes, untuk Swis. Dengan penuh tanggung jawab tugas itu ditunaikan sepenuh hati. Di kemudian baru disadari, pengangkatannya sebagai kuasa usaha, salah satu pertimbangannya untuk mempermudah persinggahan-persinggahan Presiden Soekarno yang melakukan lawatan kenegaraan ke Amerika melalui Eropa tahun 1956. Tentu saja, tugas itu menjadi amat sibuk dan menyita enersi, karena harus dihitung jam demi jam, agar kunjungan kenegaraan presiden itu sukses.
Ketika kembali ke Tanah Air tiga tahun kemudian, tugas di dalam negeri sudah menanti. Ia terpilih menjadi ketua umum Gerakan Pemuda Ansor, menggantikan H.A.Chamid Widjaja-almarhum. Hanya dalam hitungan bulan, Imron pun kemudian diangkat kembali menjadi Kuasa Usaha untuk Kerajaan Saudi Arabia. Memang untuk mengurusi persoalan politik dan masalah perjalanan haji butuh seorang diplomat yang berpengalaman seperti dia. Sebab dia adalah diplomat karir yang memang punya dedikasi dan kompetensi di bidang hubungan internasional.

Sebagai pejuang sejati sejak muda, mahasiswa hingga menjadi kuasa usaha RI, Imron Rosyadi selalu mengibarkan bendera merah putih dan proklamasi 17 Agustus 1945 untuk mendapatkan dukungan dunia internasional, di manapun dia ditempatkan dan ditugaskan. Di Baghdad misalnya, ia berkeliling kota seraya membawa sang Merah Putih. Hal yang sama dia lakukan di Jeddah dan Makkah dan mendapatkan sambutan hangat para jamaah haji dari manca negara.

Ketika NU, melalui Muktamar Situbondo (1984) resmi kembali ke khittah 1926, Imron duduk sebagai salah seorang Rois Syuriah PBNU dan satu periode kemudian diangkat sebagai mustasyar-penasihat PBNU. Dalam jabatan itulah, ia wafat di kota Bandung (1993) karena sakit. Bandung adalah kota kelahiran isterinya, yang juga aktivis dan pernah menjadi ketua/penasihat Muslimat NU, yaitu Ny Hajjah Chadidjah Imron Rosyadi. Sang isteri adalah wanita ningrat salah seorang puteri dari Bupati Bandung yang saat dinikahi Pak Imron merupakan sosok yang sangat terpandang di bumi Parahiyangan.
Imron Rosyadi kebetulan tidak dikaruniai putera atau puteri, sehingga bisa berkarir di Departemen Luar Negeri, di NU maupun di Parlemen secara lebih intensif, namun bukan berarti tidak memiliki asuhan, sebab ia punya anak angkat yang cukup banyak dan mereka didik seperti anak-anaknya sendiri, disekolahkan hingga perguruan tinggi. Warisan hartanya tidak banyak, selain sikap kejujuran dan kejuangan serta keteguhan pendiriannya yang bagaikan batu karang. Kedalaman ilmunya terbukti dari banyaknya buku-buku pengetahuan agama dan kitab-kitab kuning yang dimilikinya dan kini sudah dihibahkan kepada salah satu perguruan Islam di Jakarta.


Imron Rosjadi ditangkap

Pada masa pemerintahan Bung Karno, siapa saja yang tidak setuju pada gagasan Bung Karno untuk bekerja sama dengan PKI ditangkap kecuali yang berada di luar negeri. Kabinet yang sering cepat berubah karena dijatuhkan partai oposisi membuat Bung Karno jengkel. Itu akhir tahun 1950-an, akhir dari zaman sistem Demokrasi Parlementer dijalankan. Bung Karno kemudian mengumumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Maksudnya menghabisi sistem yang dicangkok dari Eropa itu dan memperkenalkan satu sistem yang lebih "asli" Indonesia.

Reaksi segera bermunculan. Para tokoh partai, yang menentang kebijaksanaan Bung Karno, membentuk Liga Demokrasi (24 Maret 1960). Antara lain Prawoto Mangkusasmito (Masyumi), Soebadio Sastrosatomo (PSI atau Partai Sosialis Indonesia), Soedjatmoko (PSI), I.J. Kasimo (Partai Katolik), Imron Rosjadi (Ketua Pemuda Ansor).
Satu-satunya tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Imron Rosjadi, pada 23 Mei 1962 ditangkap. Alasan juga tak jelas. Ada yang menduga, Imron memang telah lama masuk dalam daftar "cekal" -- meminjam istilah sekarang -- karena menjadi sekretaris Liga Demokrasi.
Pada tanggal 23 Mei 1962, pukul setengah satu malam Imron Rosjadi, SH., ditahan oleh pemerintahan yang berkuasa. Imron Rosjadi adalah tokoh NU. Ia pernah menjadi Ketua Umum Pemuda Ansor, tetapi karena dia dianggap tidak setuju dengan demokrasi terpimpin Presiden Soekarno, maka kedudukannya jadi goyah. Berbeda dengan tokoh-tokoh NU lain seperti Zainul Arifin, Idham Chalid yang mendapat posisi mentereng dalam pemerintahan, maka Imron Rosjadi tersisih ke pinggir.
Apa sebab ia ditangkap? Alasan yang pasti belum diketahui tentunya. Tetapi dalam masyarakat politik di ibukota, orang memperbincangkan hal itu gara-gara undangan dari Baghdad tempat bakal dilangsungkannya Muktamar Islam sedunia. Kongres di Baghdad itu mengundang lima tokoh Islam dari Indonesia, yaitu; Dr. Sukirman, Prof. Muzakir dari Yogyakarta, KH. Dachlan, Imron Rosjadi dan Anwar Haryono. Kabarnya komposisi ”delegasi” dari Indonesia tadi menarik perhatian Peperti yang menanyakannya kepada mereka mengapa Cuma mereka saja yang mendapatkan undangan dari Baghdad padahal tokoh Islam lain juga ada.

Pertanyaan itu tentu tidak dapat dijawab oleh pihak yang bersangkutan. Kelima orang itu anggota bekas Masyumi dan NU yang dianggap sebagai oposisi oleh pemerintah. Apakah karena itu penguasa memutuskan menahan saja Imron Rosjadi dan dengan begitu mencegah keberangkatannya ke Baghdad? Ada pula keterangan yang mengatakan, orang seperti Imron Rosjadi sudah lama namanya tercantum dalam daftar yang disiapkan oleh pihak penguasa dan kini dengan timbulnya alasan ”Baghdad” tadi, maka tibalah kesempatan untuk menahannya. Manakah alasan yang benar? Entahlah. Semua mungkin saja di zaman Manipol-Usdek pada saat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar